-->

Rabu, 09 Juli 2014

Torez dan Tahun Ajaran Baru


Tahun ajaran baru pun dimulai seiring berjalannya MOS. Vina lega ddapat naik ke kelas 8F dengan suasana baru, ini sedikit banyak melupakan rasa bersalah dan kekhawatirannya. Ia duduk sendiri di deretan paling depan dikelasnya, karena jumlah siswa yang ganjil. Vina merasakan kenyamanan dikelas itu, karena mendapat banyak perhatian dari guru-gurunya. Tetapi disaat jam kosong dan istirahat, Vina amat kesepian. Ia sekali dua mampir ke bangku temannya. Vina mencoba bersabar dari cemoohan teman lelakinya, bahwa Vina adalah murid istimewa, ia hanya terlihat berkaca-kaca jika mengingat posisinya. Sejak masuk ke kelas delapan, Vina sangat ingin mendalami pelajaran Matematika dan IPA, ia pun mencoba memperhatikan dan mempelajari semua mapel.
Baru seminggu Vina menetap di kelas 8F, ia dipindahkan ke kelas 8D oleh Ibu Murdiyati. Sebenarnya ia tidak rela, tetapi karena tidak ada yang bersedia dengan tawaran Ibu Murdiyati, ia rela melepaskan diri dari kelas 8F. Setiba di kelas 8D, Vina langsung merasakan kejanggalan di sana, karena ada Fera yang sejak kelas tujuh amat tidak disukainya. Tidak ada bangku kosong disana, hanya menyisakan bangku disebelah lelaki (yang kebetulan tetangga Vina). Jadi dengan enggan Vina duduk disana, kemudian sorak-sorai memenuhi langit-langit kelas, disangkut-pautkan dengan Fera lagi. “Ngga ada jalan cerita yang lebih buruk buatku ya????” desah Vina. Ibu Murdiyati membaca pikiran Vina dan menenangkan kelas dan menyarankanku untuk menarik kursi di bangku kosong di deretan paling belakang. “Lhoh, di 8F paling depan, sekarang paling belakang, nasibku nggak ketulungan nih!!!” gerutu Vina. Sekali lagi Vina dibuat jengkel karena bedanya guru yang mengajar, memperburuk situasi hatinya. Ia sering menangis diam-diam dikelas, dan untungnya tidak ada yang mengetahui.
Ditugas ekonomi, membuat rangkuman Bab 1, Vina tidak mendapat bagian kelompok, hanya kelompok Fera, Rio, Fitri yang kurang anggota. Vina mendesah khawatir “tampaknya makin buruk nih, Fera lagi!”. Fera dan Fitri bersepakat untuk memasukkan Vina kedalam kelompoknya, tapi dia memanfaatkan Vina. Vina sangat bersedih karena ia tidak memiliki printer untuk mencetak dokumen yang ditugaskan Fera padanya, ditambah lagi Fera memberi batas waktu yang sangat mepet. Vina mengatakan ketidaksanggupannya kepada ayahnya, dengan penuh kesedihan. Ayah Vina bertindak, ia melapor ketidaknyamanan Vina ke Bu Murdiyati. Setelah dua hari berturut-turut ayah Vina melapor, Bu Murdiyati memberikan solusi yang terbaik untuk Vina, ia mempertemukan Vina dan Fera, dan meminta ke teman-teman sekelas untuk memperlakukan Vina dengan baik. Sejak saat itu Vina dan Fera saling bertegur sapa.
Hari demi hari dilalui Vina tanpa teman sebangku. Vina hanya mengobrol dengan teman di bangku depannya dan di bangku dibelakangnya, hingga saat anak baru pindahan dari SMP lain akan ditempatkan dikelasku. Kebetulan anak itu perempuan, maka Vina sangatlah berbahagia, karena anak itu akan sebangku dengannya.
Vina bersebelahan dengan bangku cowok, ia bernama Torez. Vina sering mengobrol dengan Torez, meskipun pelajaran sedang berlangsung. Setelah sekian lama bergaul dengan Torez, Vina merasakan sesuatu yang berbeda dari pergolakan hatinya. Hatinya berdesir setiap sekilas menoleh ke bangku Torez, apalagi saat berbincang dengannya. Dua minggu berlalu di saat liburan panjang awal puasa, Vina merindukan Torez setiap menjelang tidurnya. Hari pertama masuk saat puasa ada murid baru yang ditempatkan dikelas Vina. Kebetulan ia cewek dan ditempatkan sebangku dengan Vina. Utami dan Rena, teman sebangku yang berada dibelakang Vina, menggoda Vina, “Wahh,, murid baru, senangnya dapet teman sebangku, hehe”.
Dan ternyata murid baru itu bernama Zahra dan duduk bersebelahan dengan Vina. Di hari selanjutnya Vina mendengar sorak menggoda dari seluruh kelas, “Ciiiee... pasangan baru kita” dan kebetulan dua orang itu adalah Torez dan Rena yang duduk tidak jauh dari posisinya. Vina menyangka Rena jadian lagi sama mantannya, dan Torez diterima cintanya oleh kakak kelas. Vina dengan santai bertanya kepada Rena “kamu jadian yaa sama Angga? Ciee..”. Rena menjawab sambil tersenyum simpul “bukan, aku jadian sama Angga itu dulu”, Vina bingung lalu bertanya lagi pada Rena dan Utami “trus siapa dong?”. Kali ini Utami yang menjawab “yaaah,,, ni anak dari tadi ngga nyambung yah,, tau sendiri kan”, katanya sambil melirik ke arah Torez untuk memberi tahu Vina. Vina tersentak, kekuatannya menghilang seketika, dengan sisa-sisa tenaganya, ia bertanya pada Rena “Torez Ren?”, dengan setengah berbisik. “iya” ucapnya dengan senyum malu-malu. “Ohh,, jadi gitu ya, , kamu tega ih Ren”, kekesalan Vina meluap, meski ia berusaha menutupinya.


Cerpen sederhana ku. Semoga kalian menikmati ceritanya yaa... Thanks for reading ;)

Kamis, 20 Februari 2014

Gara-gara Sepatu Roda


Gara-gara Sepatu Roda




Oleh :
Netty Angie Nazamawati
27 / IX C






Gara-gara Sepatu Roda

Hari itu Nana diajak teman-temannya yaitu Dani, Luna bersepeda bersama ke CFD Solo Baru. Langit menampakkan kecerahannya dengan saputan awan putih. Mereka berbincang ringan tentang hal-hal yang mereka alami selama seminggu terakhir ini, terutama tentang rapor mereka masing-masing. Diantara mereka bertiga, adalah Nana yang paling pendiam namun cerdas. Meskipun dari keluarga yang tidak mewah dan anak piatu, Nana selalu optimis dalam segala tantangan, terutama optimisme belajarnya.
Ada beberapa orang yang bersepeda, ada yang berjalan kaki, dan diantara semua orang, ada dua laki-laki yang bersepatu roda. Dua laki-laki itu melesat melewati Nana, Luna, dan Dani. Luna berbisik kepada Dani dan Nana, “Wow,, keren ya mereka. Luna jadi ingin pakai sepatu roda aja ah,,.” Dani dan Nana juga kagum atas permainan dua laki-laki itu tadi. “Iya ya,, gimana kalaum Minggu depan kita pakai sepatu roda saja,” sahut Dani cepat, memang dalam hal yang menarik, Dani selalu yang pertama menyahut. “Ehh,, tapi Luna, Dani, kayaknya Nana nggak bisa ikut deh,” ucap Nana ragu-ragu. “Memangnya kenapa kok Nana tidak ikut,” tanya Luna. “Maaf ya, Nana ada kegiatan buat esok Minggu deh kayaknya,” sahut Nana. “Oh, kalau ada acara lain, tidak apa-apa kok, tapi kalau Nana berubah pikiran dan mau ikut, Dani dan Luna akan sangat senang,” terang Dani yang membuat Nana menarik nafas lega kembali. Sebenarnya, Nana memiliki alasan tersendiri menolak usul Luna dan Dani untuk beraksi dengan sepatu roda, tapi Nana belum siap untuk mengaku sekarang kepada Luna, Dani, atau siapapun.
Hari demi hari berjalan dan Nana melalui setiap kegiatannya dengan tenang. Sampai suatu siang saat berjalan kaki pulang dari sekolah, kepalanya sangat pusing. Dengan menundukkan kepala, Nana buru-buru melangkah menuju rumah dan segera ingin beristirahat. Namun, di trotoar agak dekat dengan rumahnya, Nana tidak sengaja menubruk seseorang didepannya. Buku dan alat tulisnya berserakan di aspal dan ia buru-buru membereskannya sembari meminta maaf kepada orang yang ia tubruk tadi tanpa mendongak menatap lawan bicaranya. Nana baru menyadari bahwa orang yang ia tubruk tadi adalah seorang lelaki yang sepertinya lebih tua dua-tiga tahun darinya setelah mendengar suara laki-laki itu dan saat laki laki itu membantu membereskan buku dan alat tulisnya. Nana mendongak menatap lelaki itu dan hendak meminta maaf  ketika dia kaget mendapati sosok yang ada di hadapannya itu. “Ehh, kamu yang kemarin Minggu di CFD  Solo Baru itu kan, yang pakai sepatu roda..?” ucap Nana tersendat sendat. “Hehe,, iya memang kemarin Minggu Kris di CFD Solo Baru pakai sepatu roda,, eh iya, kenalkan, saya Kris,” sahut lelaki yang ternyata bernama Kris itu hangat. “Oh, saya Nana, kebetulan lihat Kris kemarin Minggu. Eh, iya, maaf ya tadi Nana tidak sengaja menubruk Kris…,” ucap Nana tanpa ragu lagi. “Kalau Nana memang tidak sengaja itu tidak masalah buat Kris. Ngomong-ngomong tadi Nana ngelamunin apa sampai kehilangan konsentrasi begitu?” Tanya Kris dengan penuh simpati. “Tadi ya, Nana nggak ngelamun kok, Cuma kepala Nana agak pusing aja,” terang Nana menenangkan Kris. “Kalau Nana pusing, biar Kris temenin pulang ya, rumah Nana deket kan dari sini?” Kris menunjukkan perhatiannya. “Tapi apa nggak merepotkan Kris sendiri?”, jawab Nana ragu-ragu. “Ahh, nggak apa-apa, lagi pula Kris cuma menemani Nana sampai rumah kok, nggak harus menggendong Nana kan?,hehee..” canda Kris. “Ya sudah, ayo jalan, Nana juga tidak mau kalau di gendong kok, hehee..” sahut Nana balas bergurau. Dalam hitungan menit, Nana dan Kris menjadi sangat akrab. “Eh, Nana, bagaimana kalau besok Minggu kita ke CFD Solo Baru, pakai sepatu roda?” tawar Kris. “Maaf Kris, kalau ke CFD di Solo Baru-nya pakai sepatu roda, Nana terus terang nggak mau,” sahut Nana cepat namun tersendat sendat. “Ya sudah kalau Nana nggak mau, Nana bisa naik sepeda atau jalan kaki, yang penting Kris bisa ketemu Nana lagi deh,”  longgar Kris. “Nah, bagaimana kalau Nana mengajak teman-teman Nana, boleh ya?” pinta Nana. “Kalau Nana inginnya begitu boleh saja,”. Saat Nana dan Kris sampai di depan rumah Nana, Kris pamit pulang dan berpesan kepada Nana, “kalau masih pusing, istirahat aja sana gih, tiduran, plus jaga kesehatan ya, kasihan kalau ada orang yang Nana tubruk lagi. Hehehe…Bye,” gurau Kris. Nana hanya tersenyum dan melambai, kepalanya tambah berdenyut setiap melihat senyum Kris.
Keesokan harinya, Nana menghampiri kelas Dani dan Luna. “Hei ! Dani, Luna, Nana have a good news lhoo~” ujar Nana ceria yang membuat Dani dan Luna penasaran. “Ada apa Na, kok tumben Nana ceria begini,” sahut Luna seraya mengendalikan rasa penasarannya. “Kebetulan kemarin Nana diajak Kris ke CFD di Solo Baru naik sepeda, tapi Nana bilang mau mengajak Luna dan Dani juga, bagaimana? Luna dan Dani mau ikut kan?” terang Nana bersemangat. “Eh, tunggu dulu deh, Na. Kris itu siapa?” kritis Dani. Lalu Nana menjelaskan insiden kemarin saat perjalanan pulang sekolah. “Kalau begitu Luna ikut deh!” sahut Luna cepat dan antusias. “Dani juga ya!!, duh jadi nggak sabar nungguin hari Minggu nih, hehehee..” sahut Dani tidak kalah bersemangat. “Okay, jangan lupa ya,”  kata Nana. “Kalau ada Kris, bagaimana mungkin Luna dan Dani akan lupa, heheee…”
Minggu yang ditunggu-tunggu Luna, Dani, dan terutama Nana datang juga. Saat itu Nana, Dani, Luna, dan Kris berbincang ringan diselingi tawa renyah. “Minggu depan, kita pakai sepatu roda saja semua, kan seru tuh!” celetuk Dani. Iya yuk, semua harus pakai ya,,” sambung Luna. Kris hanya tersenyum. “Tapi temen-temen, duh gimana ya, Nana nggak ikut aja ya, maaf banget,” sahut Nana. "Kenapa nggak ikut, Na?,” Tanya Kris. “Ya nggak apa-apa sih, Cuma Nana kurang suka kalau pakai sepatu roda,” jelas Nana. “Kok Nana kayak ada masalah, cerita dong, Na” pancing Luna. “Iya, Na, nggak usah sungkan, kan kita udah sahabatan sejak lama,” ujar Dani meyakinkan Nana. Kris hanya menunjukkan ekspresi perhatiannya. “Emt, baiklah, sebenarnya dulu waktu Nana masih SD kelas 5. Nana jalan-jalan di taman kota pakai sepatu roda bersama Ibu Nana, dan tanpa sengaja salah satu kaki Ibu Nana tersandung batu dan jatuh. Satu kakinya kesleo parah sehingga tidak bisa digerakkan dengan bebas lagi, hampir lumpuh gitu lah, tetapi Ibu Nana tetap menjalankan aktivitasnya tanpa menghiraukan keadaan kakinya, dan sejak saat itu, Ibu Nana jadi sakit-sakitan yang berujung kematian 2 bulan setelah insiden di taman kota itu. Sejak saat itu Nana tidak mau lagi pakai sepatu roda karena trauma. Yah, sampai saat ini.” Terang Nana panjang lebar. “Oh, maaf ya, Na, kan Dani nggak tau masalah itu sebelumnya. Jadi, Nana belum lepas dari trauma itu ya?” ujar Dani merasa bersalah telah mengungkit mimpi buruk Nana kembali. “Nggak apa-apa kok, Dani, lagi pula cepat atau lambat semua orang pasti juga akan tahu cerita itu," Ujar Nana meregangkan ketegangan. “Tapi kamu pasti bisa lepas dari trauma itu kan Na, masa Nana terus-terusan begini, nggak asyik dong,”  saran Kris. “Tapi Nana belum bisa lupa kejadian itu ,Kris,” saut Nana. “Ya udah deh, Kris nggak maksa kok. Eh iya, Kris boleh minta nomor handphone Nana, Luna, sama Dani nggak,?” tanya Kris mengganti topik pembicaraan. “Boleh kok,” sahut Luna cepat. Mereka saling bertukar nomor handphone. Hari itu terasa sangat menyenangkan bagi Nana, bisa dibilang ‘special moment’ dalam hidupnya.
Dalam sms demi sms Kris, Nana selalu senang dan tidak bisa menahan senyumnya mengembang. ‘Ada sesuatu yang berbada dari diri Kris jika dibanding lelaki yang lain’ pikir Nana dalam hati. Meski Nana belum tahu benar apa makna sesuatu yang dirasakannya, namun ia yakin bahwa ia akan menemukan sendiri jawabannya suatu saat nanti. Suatu hari, Kris menawarkan lagi untuk menemani Nana berjalan-jalan pakai sepatu roda. Nana bingung untuk menentukan pilihannya. Nana masih sedikit trauma dengan kejadian 2 tahun lalu yang menimpa ibunya. Namun, disisi lain Nana ingin lepas dari mimpi buruk itu dan melalui kehidupan barunya dengan Kris disisinya, yang akan selalu membantunya dalam segala rintangan dan kesulitannya. Untuk kali ini Nana menolak untuk mencoba memakai sepatu roda lagi.
Namun hari-hari berlalu, tawaran itu sekali dua dilontarkan oleh Kris lagi. Dan akhirnya Nana pun luluh oleh bujukan Kris. Minggu besok Nana akan beraksi memakai sepatu roda dengan Kris. “Sekalian ngajak Luna dan Dani aja ah, biar tamah seru dan terpenting agar bisa mengurangi rasa grogiku untuk beraksi dengan sepatu roda lagi” batin Nana setelah memutuskan untuk mengikuti ajakan Kris. Minggu yang dinanti itu datang terasa amat cepat. Meski grogi, Nana berusaha menunjukkan bahwa dia baik-baik saja dengan kemauannya kali ini. Karena ada Kris yang menggandeng tangannya, Nana jadi merasa nyaman dan percaya diri. Setelah melihat Nana sudah mantap oleh kendalinya sendiri, Kris melepaskan tangan Nana agar Nana bisa lebih bebas bergerak. Nana berseru senang “Akhirnya aku bisa lepas dai mimpi burukku itu,, terima kasih ya Luna, Dani, dan terutama Kris udah mendorongku untuk membuka lembaran hidupku yang baru ini. Jeongmal komapseumnida, Kris-Oppa” canda Nana yang berhhasil merekahkan senyum dibibir Kris. “Ne, cheonma , Nana-ya,” balas Kris dengan bergurau. Setelah puas berkeliling dengan sepatu roda masing-masing, Nana, Luna, Dani, Kris jajan es di warung dekat CFD di Solo Baru itu. Saat asyik makan dan minum, tiba-tiba Luna kebelet uang air kecil karena kebanyakan minum. Kebetulan toiletnya berjarak agak jauh, jadi Dani ikut untuk menemani Luna ke toilet. Tinggalah Nana dan Kris di warung tadi.
“Eh, Nana, Facebook, sama Twitter Nana apa namanya, ntar biar aku add sama follow deh,” ujar Kris memeah situasi yang canggung itu. “Facebook Nana tuh ‘Nana Raina’, kalau Twitter Nana tuh @raiNA_NAmaku, oke deh,, sekalian add YM Nana yah, NaRaina_NaNa@yahoo.com, oke?!, kalau nggak hafal catat di HP sana gih,” goda Nana riang. “Hehe, oke deh, sip, jangan lupa confirm sama follback nya yah?,” kata Kris. “Yaah,, kalau nggak lupa” canda Nana. “Eh, Na, nana berduaan begini sama Kris nggak ada yang marah ya?” goda Kris. “Ah, nggak kok, kan Nana belum ada pandangan buat yang kayak begitu-begitu tuh” jawab Nana santai. “Kalau sama Kris mau nggak?” gurau Kris lagi. “Ih apaan sih, jangan ganjen ya” sahut Nana dengan rona merah di kedua pipinya. “Hehehee,,, nggak kok Na, just kidding, jangan marah dong”
Nana tidak terlalu memperhatikan Kris yang sedang mengutak-atik handphone-nya, setelah Nana sadari ada sms dari Kris yang katanya ingin mengajak Nana berbicara serius,, “ada apa ya, tumben, kok jadi aneh begini,…” batin Nana. Nana memerhatikan Kris yang semakin salah tingkah “Ada apa Kris, kok kayaknya penting banget gitu?” tanya ku ragu-ragu. Akhirnya Kris mengakui semua perasaannya terhadap Nana yang selama ini Kris pendam. Tetapi Kris tidak meminta jawaban apapun dari Nana, hanya ingin Nana tahu saja, katanya. Disaat situasi canggung tersebut beruah menjadi tegang, Luna dan Dani kembali dengan ceria seperti biasa. Nana bisa kembali menarik nafas lega, karena bisa terlepas dari ketegangan itu, meskipun hanya sesaat. Saat Dani dan Luna mengajak pulang Nana langsung setuju, dan berpisah di jalan dengan Kris. Untuk menatap mata Kris saja Nana sangat canggung apalagi untuk bicara langsung, jadi Luna dan Dani yang pamit dengan Kris, dan saat Kris berpamitan kepada Nana, Nana hanya mengangguk pelan dengan kepala terus menunduk tidak berani mendongak sedikitpun.
Hari demi hari berlalu menjadi bulan, sudah 1 ½ bulan ini Kris dan Nana tidak terkontak. Masing masing menjalani rutinitasnya sepeti biasa, meskipun ada pikiran yang mengganjal, Nana dan Kris berusaha menutupinya dengan rutinitas sehari-hari. Akhirnya, Nana pun memberanikan diri untuk sekedar sms Kris, meski hanya mengobrol santai, seolah kejadian di warung es 1 ½ bulan lalu itu tidak pernah terjadi. Kris dan Nana akhirnya dapat akrab kembali seperti biasa. Pada akhirnya, Nana mengungkit tentang pengakuan Kris itu lagi, tetapi  Nana menjawab bahwa Nana memberi kesempatan Kris atas berkembangnya rasa itu.

---TAMAT---