Kau tinggalkan begitu saja. Kau anggap ini hal wajar
yang paling wajar dalam pergaulanmuu, tapi tidak denganku. Sayangku, sudah
tumbuh puluhan hari yang lalu. Namun tak setulus yang kukira di masa
pertumbuhannya, dan buah nya pun tak semanis yang diharapkan. Ia berbuah
cemburu yang ranum, kesendirian yang lebat, dan ketergantungan yang tinggi
menjulang. Tidak ada lagi daya untuk mengendalikan laju pertumbuhannya. Berhentipun,
ini masih sulit dijangkau untuk kemudian di pangkas, meski sedikit-sedikit saja—hingga
habis. Patah asa serapuh-rapuhnya ranting kering karena sayangmu pun masih
tertinggal dalam dirinya, yang bukan hakmu lagi. Bingung aku tidak mengerti, bagaimana
bisa sayang bisa tumbuh pada waktu dan tempat yang salah, sedang dirinyalah
yang beruntung memiliki kasih sayangmu, selalu. Lumpuh sudah hati mati rasa
jika rasamu sulit sekali dimiliki, namun sekali sudah dimiliki ia tumbuh pada
tempat dan waktu yang salah pula. Lantas rasa itu bergilir menyergap hatiku
untuk sedikitpun tak mampu berkutik, hanya meratap dan terus meratap. Kenapa ia
kau biarkan tumbuh menjulang jika pisau pemangkas nya saja belum kau siapkan. Tapi,
tak semudah menginjak rumput liar, sayang itu, tumbuh bahkan menembus
benteng-benteng yang sudah dibuat, meruntuhkannya begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar